Senin, 12 November 2012
Bagaimana Cara Memperbaiki Hati yang Patah? :"
" Merindukanmu membuatku sempat lupa kenapa aku harus melupakanmu. Kau cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kekasih yang tak pernah kumiliki. Kau memori yang harusnya kusimpan di dalam kotak dan kubuang jauh-jauh… - once upon a love "
sebuah novel lama yang baru sempat saya baca. dan kalimat yang tertera di atas itu merupakan satu dari sekian banyak paragraf dalam novel itu yang sukses membuat saya terdiam sejenak.
bukan... bukan karena saya menghayati jalan cerita novel tersebut. lebih tepatnya dikarenakan, saat dimana saya menulusuri tiap kalimat di dalam novel itu, sensasinya persis bagaikan membuka album lama.
Segala memori dan kisah lama seakan berdesakan ingin memaksa keluar. padahal usaha saya selama ini buat moved on itu perjuangaan banget yaaaah -you.know.what.I.mean-, --"
kenapa mesti move on? oh... puh-lis don't asking about that. --v
gak selamanya move on itu berhubungan dengan makhluk berjenis kelamin pria, rite? *if.you.know.what.I.mean* *ceilah*
dan kali ini saya memang tidak ingin membuat postingan dengan judul "This is my tragic story" yang dulu-dulu sering menjadi project besar-besaran untuk saya dan Alvi selesaikan *oh girl, do you see how much I miss you rite now? :" *
ppfft.... terakhir kali menjejakkan kaki kembali di mantan SMP yang lokasinya tepat di sebelah SMA yang sekarang... senja yang saya lalui disana tak lagi sama. ya. tak akan ada yang sama. tidak tanpa mereka. tak akan ada yang sama. ;_;
"Aku tidak pernah menyangka, kalau kehilangan kalian akan terasa semenyakitkan ini" sebuah message singkat yang saya dapat beberapa hari setelah memulai hari-hari di sekolah baru, dengan seragam baru, dengan teman baru, dan (lagi-lagi) tanpa mereka.
oke, ini untuk ketiga kalinya........ saya merasa telah memilih pilihan yang salah selama enam belas tahun usia saya. pilihan untuk melepas mereka pergi, dan tidak pernah mencoba untuk memanggil mereka untuk sekedar menoleh kembali.
How it's always been.... guys. kinda missing you.
Sabtu, 10 November 2012
Even If I Never See You Again Part 3
Why did I end up falling for you?
No matter how much time has passed,
I thought that you'd always be here.
But you have chosen a different road.
Jemari
putih lentik itu berlarian di atas tombol-tombol keyboard sebuah laptop yang
kini tengah memampangkan tab email seseorang. Sang pemilik jemari itu mengetik
beberapa huruf secepat yang ia bisa, yang sejenak kemudian telah menjelma
menjadi rangkaian kata-kata yang indah beraturan. Sejenak, jari-jemarinya
berhenti menekan permukaan tombol-tombol
tersebut. Si yeoja pemilik jemari
indah itu tertegun.
Rasa ragu itu tiba-tiba
menyergapnya. Membuatnya tidak meneruskan lanjutan kalimat yang telah memenuhi
halaman ‘sent an email’ miliknya. apakah ia harus benar-benar mencoba melakukan
ide bodoh ini? ataukah ia berhenti saja sebelum segalanya terlambat dan malah
menyerang balik dirinya dan menusuknya dari belakang nanti? ah... tapi ia rasa,
efek yang ditimbulkan dari ide bodohnya ini tidak akan sebesar itu. dan........
sejak kapan ia jadi sepengecut ini untuk mencoba melakukan sesuatu?
Dengan hati yang setengah
dimantap-mantapkan, dilanjutkannya kembali kalimat yang sempat tertunda di
pikirannya tadi. sebuah paragraf singkat, yang.......... walaupun hanya berisi
beberapa kalimat pendek yang mungkin terlihat remeh temeh dan tidak penting
bagi beberapa orang, tapi merupakan sebuah penentuan baginya.
Senyum miris terpampang di wajah
yeoja cantik itu saat ia dengan setengah hati akhirnya mengirim email itu. Ia
menatap kosong ke arah layar laptopnya. kapan terakhir kali ia mengirimkan
email pada orang itu? tiga tahun, ah tidak... empat tahun yang lalu.
Tak lama
setelah ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke korea dan menyangka
kalau email itu adalah email terakhir
yang dikirimnya untuk orang itu. Ia mendesah. Mencoba mengalihkan pikirannya
dengan memutar playlist I-Phonenya. walau begitu, matanya masih terasa berat
untuk tidak melirik lagi ke arah deretan kalimat yang mengisi emailnya itu.
Sub : I’m back...
errr.... dari mana aku harus memulainya?
Annyeong haseyo, tuan muda Jo...! masih ingatkah kamu padaku? :)
hufft. oke. aku tidak akan bertele-tele.
mianhae.. aku tidak pernah bermaksud untuk
pergi. sama sekali tidak pernah.
merasa sangat bersalah saat akhirnya memilih
untuk pergi disaat seharusnya aku menemanimu di rumah sakit yang suram itu. segalanya
terjadi begitu cepat -seperti tengah menonton potongan film. dan tanpa
kusadari, tiba-tiba kakiku telah menjejak di atas tanah asing itu. menyesal
saat sadar kalau aku benar-benar telah memilih pilihan yang salah. terlalu
gegabah. yah, kau tahu... yang kupikirkan saat itu hanya berlari sejauh mungkin
dan melupakan segala hal yang terjadi hari itu. mungkin kau tidak akan pernah
mengerti mengapa.
Segala hal yang terjadi saat aku berada disana
hanya pikiran untuk bisa pulang pulang dan pulang. aku rindu tempat ini... aku
rindu seoul, rindu kalian semua.... rindu kamu. Tersadar kalau aku tidak bisa
melepaskan kalian semua dan tempat ini, -separuh jiwaku.
Karena itu, hari ini aku memilih untuk
kembali. at last, mianhae... jebal.
Yeoja itu -Jiyeon, menutup tab emailnya cepat.
Ia mendesah panjang dan menggigit bibir
bawahnya, mencoba menahan air mata yang berusaha mendobrak pelupuk matanya.
Jiyeon perlahan berdiri dan beranjak
menjauhi laptop yang kini telah berada di posisi off. Ia duduk di tepi
ranjangnya, masih dengan kedua bola mata yang menerawang jauh. Ah.... Ia benci
dengan kata “seandainya”. tapi salahkah jika ia berharap, seandainya ia bisa
kembali ke masa lalu dan mengubah segala hal yang pernah terjadi?
Keheningan yang menyelimuti kamar Jiyeon
terpecah dengan suara ketukan yang terdengar dibalik pintu kamarnya. Ia melirik
sekilas, dan mulai menerka-nerka siapa yang mengetuk pintu kamarnya tengah
malam begini? Appanya? tidak mungkin.... Appa belum kembali dari Ilsan sejak
lima hari lalu. Kalau begitu.....
“Jiyeonssi..... keluarlah.... bantu aku
membuat sesuatu untuk mengganjal lapaar... aku tidak bisa menghidupkan
kompornyaa...” suara khas yang amat dikenali Jiyeon itu sukses membuat yeoja
itu terkikik geli sebelum menyembulkan wajahnya dari balik pintu.
“Huahaha....
dasar oppa tidak becus.. kenapa tidak kau suruh saja pada salah satu
bibi kita kalau tidak bisa?” ujar Jiyeon setengah meledek. Hyunseong hanya
memberikan ekspresi datarnya saat Jiyeon dengan
sangat cepat, mencubit pipi kanannya -tanpa bisa ia cegah, sambil
terkikik geli.
“Kau tahu? aku tidak pernah tega untuk
mengusik wajah mereka yang tertidur lelap itu. yah, kita sudah cukup membuat
mereka lelah di siang hari, tak perlu menambah penderitaan mereka dengan
membangunkan mereka pada tengah malam begini bukan?” Jiyeon hanya meringis
pendek mendengar jawaban oppanya itu.
“Yayaya, mulailah menjadi bijak oppa... kau
akan terlihat sepuluh tahun lebih tua... dan aku akan dengan senang hati
memanggilmu haraboji... kkk~” balas Jiyeon pendek sebelum dengan tergesa-gesa
melarikan diri ke dapur. menghindari sandal rumah yang kini tengah dilayangkan
ke arahnya.
*****
Namja tampan itu baru saja akan mematikan
PCnya ketika sebuah notif bewarna merah tiba-tiba menghiasi halaman emailnya. ia
mengernyit heran, mengekspresikan rasa penasarannya pada seseorang -entah
siapa, yang kini telah
mengirimkannya email di tengah malam -menjelang pagi
buta, seperti ini.
Sedikit malas, ia mengklik email yang baru
masuk itu. Sekejap, beranda email itu berganti dengan halaman email yang tadi
baru saja masuk ke inboxnya. ia melirik ke arah email si pengirim... sebuah
alamat email yang...... sepertinya ia kenal. ah... bukan sepertinya. ia memang
mengenal si pemilik alamat email ini.
Madamoiselle Ji. akankah ia lupa pada pemilik alamat email ini? dan,
walaupun ia mau, tapi bisakah?
Ia tidak perlu bersusah payah untuk membaca
email itu sampai huruf terakhir untuk dapat mengerti inti dari isinya. judul
dari email itu telah menjelaskan segalanya. yeoja itu kembali. ralat. yeoja
yang telah dinantikannya selama lebih dari setengah dasawarsa itu telah
kembali. Ia mengatupkan kembali bibirnya yang tadi refleks sedikit terbuka, dan mendesah berat.
Seharusnya ia merasa senang saat ini.
penantiannya selama ini telah berakhir seperti apa yang diinginkannya. tapi
entahlah... hatinya menolak untuk mewujudkan apa yang seharusnya ia rasakan.
rasa kecewa lebih mendominasi hati kecilnya saat ini. kecewa yang seharusnya ia
rasakan di hari kepergian gadis itu lima tahun lalu.
Namja itu beranjak mendekat ke arah meja
belajarnya di sudut kamar. kaca jendela yang berada tepat di depan meja belajar itu masih terbuka,
belum dibalut gorden berwarna abu-abu tebal yang menggantung di kedua sisinya.
Di balik kaca bening itu, terlihat
kerlap-kerlip lampu yang menerangi gelapnya malam di kota Seoul. bahkan di
tengah malampun, ia masih mendapati lumayan banyak kendaraan yang berlalu
lalang di jalan raya. dalam diam, namja itu menatap kehidupan yang masih
berjalan di bawah sana. seakan tengah menemani kesendiriannya.
Hatinya gundah. ragu untuk memilih hal yang
harus dilakukannya saat ini. mata kosongnya menerawang jauh, ke arah hamparan
kerlap-kerlip lampu di depannya. sampai akhirnya tersadar, titik-titik air
ternyata telah berjatuhan ke bumi. menyirami tanah-tanah di penjuru kota Seoul.
Seoul diguyur hujan malam ini.
Titik-titik itu mengaliri setiap jengkal sudut
jendelanya. membuat kaca itu seolah-olah dipenuhi butiran Kristal kecil. kedua
sudut bibir namja itu sedikit melengkung ke atas. sejak dulu, ia selalu
menikmati saat-saat ini. saat tetesan hujan mengguyur bumi. memekarkan segala
yang pernah tumbuh di atasnya. memekarkan segala memori lama. bedanya, dulu ia
tidak pernah menikmati saat-saat seperti ini sendirian. selalu ada seseorang
yang menemani namja itu di sisinya. tak
peduli kapan dan dimanapun ia berada. tapi, yah.. itu dulu. saat segalanya
masih berjalan dengan indah, seperti yang diinginkannya.
Namja itu mendesah lagi. kemudian meletakkan
telunjuk tangan kanannya di kaca yang kini mulai agak berembun itu. jarinya
naik turun, menuliskan sesuatu di permukaan jendela itu. sebuah tulisan hangul telah
terukir sempurna di kaca jendela kamarnya kini.
' 박지연 ' dan secepat ia
menuliskan sebuah kata itu, secepat itu juga ia menghapus kembali kata itu dari
kaca jendela kamarnya. hilang tak berbekas.
Ia mendengus kesal. merutuki hatinya yang
tidak bisa konsisten. tak tahu berbuat apa, dengan malas dilemparnya
pandangannya menelusuri rak buku besar disampingnya. duduk diam, dan menatap
satu-persatu judul buku yang tertera di sana. sampai akhirnya pandangannya
terhenti di sudut meja belajarnya sendiri -yang berada tepat di depannya.
Ia tertawa pahit. menertawakan kebodohannya.
menertawakan kedua buah pigura yang dari dulu sampai kini tidak pernah
berpindah dari meja belajarnya ini. menertawakan masa lalunya. dan akhirnya
ia dapat menarik sebuah kesimpulan. tidak
ada yang akan berubah. dua pigura itu tidak akan berpindah dari tempatnya kini.
ia akan tetap menjadi barang istimewa yang pernah ada di hidupnya. perlahan,
dielusnya permukaan kaca pigura kedua foto itu dengan ujung jemari, dan untuk
kesekian kalinya, mendesah panjang.
Langganan:
Postingan (Atom)