Over time, when the time passes by.
It will be a heartache in the memory.
There is no need to forget,
since it will just all fade away.
***
Seorang
gadis kecil melangkah tersaruk ke arah ruang kelas barunya. wajahnya sama
sekali tidak menampakkan aura persahabatan. dengan dua ujung bibir yang
tertarik mengarah ke bawah, dan garis wajah sinis yang tergurat di wajah
cantiknya. tidak ada yang berani untuk sekedar menyapa bahkan menoleh ke
arahnya. yah... lupakan kenyataan bahwa ia hanya seorang murid baru di sana.
Fakta
bahwa ia adalah putri bungsu dari seorang ternama dan berkuasa membuatnya
disegani bahkan sebelum sempat kakinya menjejak di depan halaman sekolah elit
ini. Mungkin hal itu juga yang mebuatnya merasa menjadi seseorang yang
berposisi tinggi dan tidak pantas untuk berteman dengan sembarang orang.
Gadis
cantik itu tetap menatap lurus kedepan dengan sorot mata penuh keangkuhan dan
berjalan dengan setengah hati menuju ruang yang merupakan kelas barunya.
kelas?
kata itu sebelumnya tidak pernah singgah di telinganya.
bagaimana
mungkin ia bisa mengerti kata itu, kalau sebelum ini ia tidak pernah mengecap
bangku sekolah formal? ya. ini pertama kalinya ia memasuki sebuah gedung dengan
ratusan anak-anak yang berpakaian sama. dan ia tidak suka. ia tidak suka
disamakan, karena ia merasa berbeda. sederhananya, ia merasa kalau ia berbeda
dari semuanya. ia istimewa!
Gadis
berambut kecoklatan itu tersenyum miring saat menyadari kalau ia telah sampai
di depan kelasnya. ia sadar kalau berpasang-pasang mata kini tengah menatapnya
dari balik jendela. ia merasa seperti tidak perlu menganggapi puluhan mata yang
kini tengah menatapnya penuh kekaguman itu.
tidak,
ia salah. ia tidak menyadari, ada seseorang yang bahkan tidak melemparkan
pandangan ke arahnya sedikitpun. seorang bocah lelaki di sudut ruangan.
***
Hari
kelima gadis itu di sekolah. masih sama seperti sebelum-sebelumnya. tidak ada
yang tertarik untuk sekedar menyapanya kecuali guru yang mengajar di sekolah
itu. Ia masih sendiri, tanpa seorangpun yang berada di sisinya.
Lima
belas menit waktu istirahat telah berlalu. dan ia masih sibuk sendiri di tengah
kelas yang telah kosong dengan ditemani sekotak pensil warna dan sebuah buku
melukis. gadis kecil itu tenggelam dalam keheningan kelasnya dan larut dalam
dunianya sendiri. Ia diam, dan dengan tenang menggoreskan ujung pencil warnanya
ke atas buku menggambar miliknya.
Suasana
ricuh yang berasal dari luar ruang kelasnya sama sekali tidak membuat gadis itu
terusik. ia masih duduk dengan tenang dan tidak peduli apapun selain kedua
benda di tangannya. Bahkan tidak menoleh sedikitpun saat seorang murid di
kelasnya membuka pintu dan membuat beberapa teman di belakangnya bergegas
berebut memasuki pintu itu sambil tergelak panjang.
“Sudah
kukatakan.... anak sok itu pasti tidak bisa terus-terusan bertahan dengan wajah
soknya itu.... hahahah... ada lihat ekspresi dia tadi kan? bwahaha... Hanbyul
jenius! bisa terpikirkan ide gila ini.... waah.. untung tadi kyungri sonsengnim
tidak tahu kalau aku yang memasukkan separo isi botol saos ke mangkuk
Sungwoo... ia benar-benar menjerit setengah menahan tangis tadi! hahahaha!!”
salah satu bocah bercerita dengan heboh dan sesekali diiringi gelakan panjang
pendek.
“Tentu
saja! aku memang jenius, Seokhyun-ah.... aku sudah lama tidak menyukai anak
sombong itu... bisa-bisanya dia terpilih menjadi ketua di kelas
kita...seharusnya kau cemplungkan botol saosnya sekaligus ke dalam mangkuk
supnya tadi... ahahaha” sahut Hanbyul pada bocah yang dipanggilnya Seokhyun itu
dengan terkikik geli.
“tapi.....
apakah kalian tidak keterlaluan tadi...? dia sepertinya benar-benar marah.
kalau sampai ketahuan... noe jugeosseo!” seorang anak yang membawa kotak bekal
menyela perbincangan heboh teman-temannya dan sontak membuat mereka semua
berhenti tergelak.
“Ahh...
kau ini terlalu berlebihan Minwoossi. mana mungkin ketahuan.... aku dan Hanbyul
adalah calon actor yang handal.. jadi, masalah kecil seperti itu tidak ada
pengaruhnya buat kami...”ujar Seokhyun yang dibalas anggukan oleh Yoonsuk.
“Hooo....
jadi kalian yang berbuat ulah tadii..! cerdas!” Hanbyul dan Seokhyun tersentak
dan menoleh ke belakang. terlihat dua orang gadis yang telah berdiri dengan
berkacak pinggang.
“Waa!
sejak kapan kalian disitu? Christina yaaa! dari dua bulan lalu kamu selalu
mengikutiku! pergi jauh-jauh!” Hanbyul berseru gemas dan mendorong pundak
seorang gadis yang dipanggilnya Christina itu menjauh.
“Waeyo?
boleh saja aku pergi. tapi nyawamu tak akan selamat. akan kulaporkan semua yang
telah kudengar tadi pada sonsengnim... bukan begitu, Seohyun?” Christina
mengedipkan sebelah matanya pada gadis temannya itu.
“Eo!
kami akan melaporkan.... kecuali kalo Seokhyun membolehkanku untuk memanggilnya
Oppa.... bagaimana, Seokhyun chagiyaa~ ?” sontak, kedua mata Seokhyun membulat.
“Noe!
berhenti memanggilku chagi! aku tidak akan pernah menjadi chagimu! dan...... mworago?
oppa? jangan mimpi!” hardik Seokhyun yang sukses membuat Seohyun mengerucutkan
bibirnya.
“Yoonsukssi........
Seokhyun jahat padaku... bolehkah aku bercerai dengannya dan menikah denganmu?”
Seohyun mengedipkan kedua matanya genit ke arah seorang bocah yang asyik
sendiri dengan balon yang tengah dilambung-lambungkannya ke udara.
“Nde?”
Yoonsuk mengangkat sebelah alis, dan Seokhyun mendengus tak peduli. Hanbyul
terkekeh geli, dan lekas menghentikan tawanya saat sadar, tengah ditatapi Christina
yang menatapnya dengan kedua bola mata seakan ingin mengajaknya kawin. Hanbyul
membuang muka.
“Jika
begitu....... bagaimana kalau kita bermain kucing-kucingan bersama saja? kalau
kalian setuju, kami akan tutup mulut!” Christina memberi saran. yang lain
terdiam lama, menimang-nimang syarat dari Christina, sebelum akhirnya
mengangguk.
Minwoo
hanya tersenyum geli melihat tingkah teman-temannya. Ia baru saja akan
meletakkan kotak bekal yang sedari tadi belum dibukanya dan kini ingin
diletakkannya kembali di sudut tasnya sebelum tersadar. ada seseorang yang terduduk
sendirian di tengah kelas. terlihat begitu kesepian.
Minwoo
terdiam di tempat, tertarik untuk memperhatikan apa yang tengah dikerjakan
gadis cantik itu sendirian. ya, bukan kali ini saja ia tertarik untuk menatap
gadis itu. dari saat ia pertama kali berjalan melewati koridor sekolah mereka,
Minwoo sudah tidak bisa mencegah untuk tidak meliriknya diam-diam. mungkin
karena gadis itu begitu berbeda dari yang lain. mata hazel, rambut kecoklatan,
dan sifat arogannya...
Tanpa
sadar, Minwoo mengambil kembali kotak bekal yang baru saja berdiam tenang di
tasnya dan beranjak perlahan menuju meja gadis itu. Ya! ia tidak sadar sama
sekali, dan tersentak saat tiba-tiba sosoknya telah berada di sisi sebelah
kanan meja yang bertuliskan ‘Shim Jiyeon’ di atasnya. nama gadis itu.
Teman-teman
Minwoo yang baru saja akan keluar kelas, berbalik dan menatap heran pada Minwoo
yang kini tengah berdiri di sebelah Jiyeon dan menyodorkan kotak bekalnya pelan
ke sisi meja Jiyeon. Jiyeon tidak bergeming. mungkin bisa dikatakan, tidak
sadar akan kehadiran seseorang di sisinya.
Sejenak,
ia berhenti mencorat-coret kertas gambarnya dan tersenyum puas. saat ingin
mengambil pensil warna yang lain, Jiyeon sadar ada sebuah kotak tak dikenal
yang kini telah berada di mejanya. Jiyeon mendongak, dan kaget melihat Minwoo
yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
“Mwoya?”
Tanya Jiyeon pendek dengan ekspresi datar. Minwoo menjadi gelagapan dan
menggaruk belakang tengkuknya. beberapa teman-teman Minwoo berjalan perlahan
menuju tempat Minwoo berdiri saat ini, membuat Minwoo tambah gelagapan.
“Mm...
aniya... aku hanya... ini. untukmu... aku lihat selama lima hari ini kamu tidak
pernah jajan atau apapun saat istirahat, dan kupikir kamu lapar.. jadi.... ini
untukmu.” Minwoo kembali menyodorkan kotak makannya yang kini setengah terbuka
tutupnya. Jiyeon terdiam dan menatap tajam ke arah Minwoo.
“Shiroyo...!
aku tidak lapar dan tak perlu makanan.
dan........ tidak usah berbuat baik padaku. aku tidak suka orang baik...”
Minwoo tersentak. mulutnya membulat, ingin mengucapkan sesuatu tapi tidak jadi.
Dengan
tiba-tiba, Hanbyul yang telah berada di
sebelah Minwoo merebut kotak bekalnya dan menyodorkannya persis di depan muka
Jiyeon.
“Coba
dulu! kue buatan eommanya Minwoo sangat enak! jarang ada eomma wanita karir
yang sempat membuat bekal seenak ini untuk anaknya... kamu akan menyesal kalau
tidak mencoba...” seru Hanbyul mempromosikan bekal Minwoo dengan heboh.
teman-temannya yang lain berdatangan dan mengelilingi meja Jiyeon saat itu
juga. membuat Jiyeon semakin tak tahan berada di tengah kerumunan anak-anak
itu.
“Jadi
kenapa kalau enak? sudah kukatakan aku tidak mau....! sekarang,
MENGHINDARLAH!!!” tukas Jiyeon dengan sedikit membentak. ia menepis kotak
bekal yang berada tepat di depan wajahnya, sehingga kotak itu terlepas dari
tangah Hanbyul dan terjatuh di lantai. isinya tumpah berserakan. raut muka
Minwoo berubah. perlahan, ia berjongkok memunguti roti yang berserakan di
lantai saat itu. Hanbyul ikut berjongkok dan membatu Minwoo.
Jiyeon
tetap bertahan dengan ekspresi datarnya. membuat dua gadis di sampingnya
(Seohyun & Christina) mendesis tidak suka. Seokhyun juga mulai menatapnya
dengan tatapan penuh api neraka. Ia mendekat ke arah Jiyeon, dan melemparkan
kata-kata sinis.
“Yaa...yeoja
sombong! kau kira dirimu siapa? tidak pernah didikkah di rumah besarmu,
bagaimana caranya menghargai orang lain? atau appamu terlalu sibuk dengan
perusahaan sehingga tidak sempat mengurusi anaknya? Hah! aku paham kalau
begitu..” Seokhyun berujar seraya berkacak pinggang.
“Shikkeureowoe!
jangan mengoceh disampingku. aku tidak suka!” tukas Jiyeon seraya melanjutkan
kembali gambarnya. Seokhyun melongo. ini pertama kalinya ada murid perempuan
yang berani mengacuhkannya. Seokhyun tersenyum miring. sebuah ide iseng
berkelebat dibenaknya.
“YAA!
KEMBALIKAN!!” Jiyeon berteriak dan mengejar Seokhyun yang telah sukses menarik
paksa pita rambut Jiyeon dan berlari keluar kelas. Jiyeon baru saja akan
berlari mengejar Seokhyun sebelum dengan tiba-tiba Seohyun dan Christina
menghentikan langkahnya. Christina dengan kasar menjambak rambut cokelat Jiyeon
dan tergelak lepas.
“Hahahah...
lihat rambutnya! dia tidak cantik sama sekali dengan rambut hancur seperti itu!
hahah...”
“Mungkin
ini bisa membuat kepalamu dingin gadis jahat!” dan......’byur’ Seohyun menyiram
wajah Jiyeon dengan air yang ada dalam botol minumannya. Minwoo dan Hanbyul
yang baru saja selesai membereskan ‘kekacauan’ di lantai, tercengang melihat
Jiyeon yang kini telah basah dengan rambut acak-acakkan. persis seekor kucing
yang kehujanan.
Minwoo
berdiri dan mendekat ke arah Jiyeon. “Noe... gwenchanayo?” tanyanya dengan
khawatir dan mencoba menyentuh baju Jiyeon yang telah basah.
“Pikyeo!
jangan ganggu aku lagi!” Jiyeon menepis tangan Minwoo, dan berlari keluar
kelas. meninggalkan anak-anak yang menatap punggungnya dengan berbagai
ekspresi.
Minwoo
awalnya ingin mengejar Jiyeon, sayangnya tangan Yoonsuk menahannya. “sudahlah.....
ia tak akan mau berbaik hati padamu.”
“Ne...
lebih baik kita semua pergi bermain! lupakan yeoja jahat itu...” ujar Seohyun
dan menggandeng paksa lengan Minwoo dan menariknya untuk keluar kelas. Dengan
setengah hati, Minwoo mengikuti punggung Seohyun yang berlari menjauh.
***
Seorang
bocah lelaki menatap bosan ke arah kerumunan anak yang bermain di taman luas
yang terletak di halaman sekolah mereka.
Tatapan datarnya kini terarah pada
beberapa orang namja dan yeoja yang berlarian di depannya, bermain
kucing-kucingan. salah seorang dari mereka tiba-tiba berhenti, dan melempar
sesuatu yang sedari tadi berada di genggaman tangannya.
Bocah
itu mengikuti arah benda tersebut dilemparkan, dan akhirnya tergelak di tanah.
Ia meloncat turun dari panjat-panjatan yang dinaikinya tadi. melangkah pelan ke
arah benda berwarna merah muda itu. saat telah dekat dengan tempat benda itu
teronggok, bocah itu berjongkok dan mengambilnya.
Sebuah
pita. ya. pita yang biasa dipakai para yeoja di rambut mereka. dan sepertinya
bocah itu sadar siapa sebenarnya pemilik pita itu.
***
Jiyeon
menangis tergugu di atas pagar pembatas sekolahnya. tempat yang paling jarang
didatangi murid-murid di sana. Rambutnya lembab dan acak-acakkan, wajahnya
kusam penuh airmata, dan bajunya basah. sangat berbeda dengan penampilannya
tadi pagi. hatinya sakit. untuk pertama kalinya, dia diperlakukan seperti ini.
oleh orang-orang yang baru dikenalnya.
“Eomma.........
aku tidak ingin sekolah disini lagi... Hyunseong oppa.... jemput aku..... aku
ingin pulang.. disini semua jahat padaku...... hiks....hiks... eommaaaa...”
Jiyeon berteriak keras, melampiaskan rasa sakit hati dan kecewanya. Dengan mata
sembab, ia tertunduk menatap rerumputan di bawah pagar. wajahnya sebagian telah
tertutup oleh rambut yang acak-acakkan dan lembab karena disiram air dari botol
Seohyun tadi.
Seorang
bocah meletakkan kedua tangannya di ujung pagar dan meloncat ke atasnya. ia
duduk di samping Jiyeon. tidak memberi jarak sedikitpun. kedua bola matanya
menatap Jiyeon. sedikit geli dan kasihan melihat penampilan Jiyeon saat itu.
“Sudahlah......
jangan cengeng. mereka juga bukan tanpa alasan memperlakukanmu seperti ini kan?”
Jiyeon menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati seorang namja tak dikenal
yang telah duduk di sampingnya. Jiyeon mebuang muka.
“Aku
tidak cengeng! mereka yang keterlaluan! aku tidak pernah menyuruh mereka untuk
dekat-dekat dan berbaik hati menyapaku. aku tidak suka. dan lihat! apa yang
mereka perbuat? appaku benar-benar salah memilih sekolah untukku.” entah
bagaimana caranya, Jiyeon bisa menggerutu dan menceritakan segala hal yang
menyesaki hatinya saat itu pada namja tak dikenal disampingnya. Namja itu
tersenyum kecil melihat wajah suram Jiyeon yang bertambah suram saat
menceritakan uneg-uneg yang dirasakannya.
“Mungkin
karena kamu terlalu sombong dan tidak mau berkomunikasi sedikitpun dengan
mereka? sejauh yang aku tahu... mereka baik kok. oh ya, aku juga pindahan....
dan mereka bisa cepat menerimaku di sini.” Namja itu balas curhat pada Jiyeon
yang tidak menoleh ke arahnya. hanya menunduk dan menatap rerumputan yang
dimainkan angin di bawahnya.
“Ah,
ne? yah... aku memang berbeda. istimewa. dan mungkin memang tidak seharusnya
aku berada di sini..” Jiyeon bergumam kecil. matanya kembali mengabur. Ia
yakin, sedikit berkedip saja aliran hangat itu akan kembali mengalir di
pipinya. haha. sepertinya ia memang benar-benar cengeng.
“Lalu......
apa yang akan kamu lakukan?” Tanya namja itu lagi, kemudian memasukkan
jemarinya ke dalam saku jas.
“Pindah
mungkin...?”ujar Jiyeon lagi. kini air mata itu kembali menetes di kedua
pipinya. membuat namja di sampingnya tidak tahan untuk terus diam. Namja itu
beringsut ke arah Jiyeon, dan mengusap kedua sudut matanya.
“Aissh....
yeoja sepertimu benar-benar menyebalkan. kamu terlihat angkuh dari luar.. padahal lemah dan
cengeng.. sudahlah.... jangan menangis lagi... dan, apa katamu tadi? pindah?
hahaha........ jangan secepat ini...! kamu bahkan belum seminggu berada di
sini. coba bertahan lebih lama.... dan ubah sedikit sifatmu itu.. kupastikan
kamu akan betah di sini. mereka sebenarnya sangat baik.... tidak percaya? oke,
besok datang cepat ke sekolah dan kutunjukkan padamu! satu lagi, kita
berteman...” Jiyeon kini menatap namja disampingnya itu dengan berbinar.
“Noe.....
jinjjayo?” Jiyeon berujar penuh harap. Si namja tersenyum simpul dan
mengangguk. Jiyeon tersenyum tipis melihat anggukan namja itu.
“Ah.....
kenalkan... aku putra dari Mr. Jo. oh ya....” namja itu seperti tersadar akan
sesuatu dan merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan sebuah benda yang tadi
dipungutnya dan menyodorkannya pada Jiyeon. Jiyeon hanya menatapnya dengan
tidak berminat.
Benda itu mengingatkannya pada kejadian tadi. saat Seokhyun
menarik kasar benda itu dari rambutnya.
Melihat Jiyeon yang tak bergeming, namja itu
berinisiatif untuk memasang kembali benda itu di tempatnya. Ia menyibak rambut
Jiyeon dan menautkan benda itu di antara anak rambut gadis itu, kemudian
tersenyum lebar melihat rambut Jiyeon yang kini telah kembali tertata rapi.
“Neomu
Yeppoyo...!” ujar namja itu pendek.
Hal
terakhir yang Jiyeon ingat saat pertemuan pertamanya dengan namja itu adalah...
beberapa saat setelah mereka duduk
terdiam di atas pagar pembatas sekolah, tetesan bening jatuh teratur dari
langit. ya. rinai hujan berjatuhan dan menemani obrolan dua orang anak kecil
yang telah memproklamirkan pertemanannya itu.
***
“Jiyeon
Ah!” Yeoja yang dipanggil namanya itu tersentak kaget. ia menoleh ke arah orang
yang memanggilnya, menatap dengan bertanya.
“Sampai
kapan kamu mau terbengong di situ? kita sudah sampai dari sepuluh menit yang
lalu... atau, kau ingin kembali ke Jerman?” Hyunseong berseru denga curiga. selama sebelas jam perjalanan Jerman-Korea tadi Jiyeon hampir tidak berbicara dengannya sedikitpun. lebih banyak diam dan melempar pandangannya keluar jendela pesawat. ia curiga, jangan-jangan Jiyeon sudah tidak berminat untuk kembali ke Korea, dan saat ini juga ingin mengubah haluan pesawat agar kembali ke Jerman. Ya... saengnya bisa saja melakukan itu. tak ada yang tak bisa dilakukan Jiyeon.
Mata Jiyeon tidak berkedip melihat bandara Incheon yang tengah dipijakinya saat itu. benar-benar berbeda dengan lima tahun lalu! segalanya terlihat......... begitu mewah!
ah.... bandara ini saja telah membuat banyak perubahan sejak Jiyeon meninggalkannya lima tahun lalu. bagaimana dengan orang itu? apakah dia masih sama, ataukah telah menjelma menjadi sosok yang tidak Jiyeon kenal?
***