Jumat, 15 Juni 2012

Even If I Never See You Again Part 1

Time
I’ve been passing time
Watching trains go by
All of my life
Lying on the sands
Watching seabirds fly
Wishing there would be
Someone waiting home for me
Something’s telling me
It might be you
It’s telling me it might be you..




















oOoOoOoOoOoOoOoOo

Drtt..drt...
Getar yang berasal dari benda mungil bewarna hitam mengkilap itu tidak lantas membuat pemiliknya segera beranjak mengambil benda itu dari meja kecil di depannya saat ini.

Benda itu terus bergetar, memaksa sang pemilik melirik sekilas ke arahnya, dan dengan sedikit malas-malasan meraih benda itu dari tempat semulanya berada. Si yeoja pemilik benda itu menatap datar ke arah layar yang bersinar pada benda di genggaman tangannya. Sebuah tulisan tertera di layar benda tersebut.
  
‘Hyunseong oppa is calling’

Sang yeoja mendengus kecil. sepertinya kali ini, tidak ada kesempatan untuk menghindar lagi baginya. Dengah setengah hati, ditekannya tombol di layar benda miliknya itu.

Tidak sampai satu detik terlewat. seketika, dari ujung sana terdengar suara kakak lelakinya yang dari nada suaranya seakan ingin meremas si yeoja saat itu juga.

“Jiyeonssi!!! NOE!! arggh!! Jayden menelponku tadi. dia bilang, kamu tidak datang ke sekolah lagi hari ini. Ini sudah ketiga kalinya kamu membolos dari pelajaran di sekolah!! Ya! odieoyo?” si yeoja yang dipanggil jiyeon tersebut sontak menjauhkan benda mungil itu dari telinganya, sebelum suara oppanya sukses membuat saraf telinganya putus.

“Oppa... sudah kubilang, aku tidak akan pernah membolos. aku bukan tipe yeoja yang suka membolos atau melalaikan kewajibanku. oppa tentu tahu itu kan? tapi, ini berbeda. Jeongmin sudah kembali ke Korea. segalanya menjadi membosankan... “ gumam gadis itu.

“Mwo? Jadi maksudmu ini semua salah Jeongminni ha? “ seru oppanya lagi, gemas.

“Bukan begitu juga.... hanya saja... oppa tahu kan, aku mau melanjutkan sekolah di negara orang asing ini juga karena Jeongmin bilang dia akan sekolah di sini.. sekarang Jeongmin sudah kembali, jadi untuk apa aku masih bertahan di sini? cemi opsoyo!" tukas Jiyeon yang sukses membuat oppanya di seberang sana menggeleng-geleng kepala. habis pikir bagaimana mengahadapi tingkah saengnya yang kian menjadi-jadi ini.


"Noe.. odieyo? kamu tidak mungkin sedang di kelas kan?" Tanya Hyunseong dengan menekan rasa gemasnya sekuat mungkin. saengnya ini selalu saja berbuat seenak hatinya. parahnya, Jiyeon memiliki sifat keras kepala yang tentu saja membuat Hyunseong harus memutar otak mati-matian untuk menang duel urat saraf dengannya.

"Ne..... aku sedang di seacláid cafe distrik 2. we yo?" sahut Jiyeon sambil menyeruput sisa milkshakenya yang tinggal setengah.

"Janggaman! aku kesana sekarang. setelah itu, aku akan membawamu pulang dan melaporkan ulahmu pada eomma. bersiaplah anak nakal...!" desis Hyunseong diseberang telefon. ia bergegas mengambil kunci audi-a3nya dan setengah berlari menuju parkiran gedung yang belum sejam didatanginya itu.

"iri wa yo oppa! ppalli...!! rencananya sih sepuluh menit lagi aku sudah tidak ada di sini. jadi, ppali..! fightiing!!" klik. panggilan terputus bersamaan dengan tersunggingnya senyuman iseng di wajah Jiyeon. ia sangat sangat puas dengan apa yang baru saja dilakukannya.

Yah, akhir-akhir ini entah mengapa ia senang melihat wajah gemas oppanya. ia juga suka saat oppanya mulai marah-marah dan mengomel tidak jelas dihadapannya. biasanya sih, Jeongmin yang sering dijadikan "pelampiasan" keisengan dia itu. mungkin itu juga salah satu factor mengapa Jeongmin tidak betah berlama-lama di dekatnya dan pulang kampung ke Korea. kekeke.

Jiyeon termenung menatap ke arah luar dinding kaca di sampingnya. kehidupan masih berjalan seperti biasa di luar sana. manusia-manusia yang kebanyakan berambut pirang hilir mudik memadati trotoar jalanan kota yang terletak di kawasan Eropa Barat ini. tetap sibuk dengan urusannya masing-masing. inilah salah satu surganya orang sibuk!

masih dengan sedotan milkshake di mulutnya, Jiyeon menatap bosan ke arah segerombolan remaja bule yang tampaknya baru saja menyudahi pelajaran di sekolah mereka. Penampilan mereka yang terkesan bebas dan kurang tertata, membuat Jiyeon sedikit rindu dengan suasana sekolahnya dulu di Korea. saat ia melewati masa taman kanak-kanak dan sekolah dasar bersama teman-temannya yang kebanyakan berwajah oriental itu.

apa kabar mereka hari ini? Jiyeon tidak tahu. sama sekali tidak tahu. karena terakhir kali ia menjejakkan kaki di Negara tempat kelahirannya itu telah lima tahun yang lalu. ia yakin, banyak yang telah berubah dari Negara itu. banyak hal yang mungkin tidak dikenalinya lagi jika suatu hari ia kembali kesana. walau begitu, hal itu tidak bisa membuat Jiyeon pernah berhenti untuk merindukan Korea Selatan.

Lalu kenapa ia memilih untuk pindah ke Negara ini? entahlah. banyak alasan yang membuatnya akhirnya memilih untuk tinggal dan melanjutkan sekolahnya di  Jerman. salah satunya karena eomma Jiyeon telah lama tinggal disini. Jauh sebelum Jiyeon dan Hyunseong yang awalnya tinggal bersama appa mereka di Korea, akhirnya pindah ke Jerman.

Tidak-tidak. bahkah Hyunseongpun awalnya tidak bisa memaksanya untuk ikut ke Jerman. Jeongmin! ya, Jeongmin yang merupakan sepupu dan satu-satunya orang terdekat Jiyeonlah yang berhasil membuat Jiyeon setuju untuk pindah kesini. Jeongmin berhasil mendapatkan beasiswa di salah satu sekolah ternama di Jerman.

Tentu saja Jiyeon yang sangat-sangat tidak bisa untuk berpisah sedikit saja dengan Jeongminnya itu, memaksa untuk bisa ikut juga ke Jerman.  tanpa pernah tahu, kalau Jeongmin akan kembali ke Korea bahkan sebelum masa waktu beasiswanya di Jerman habis.

Dan disinilah dia hari ini. duduk terpaku disalah satu cafe di tengah kota Munich. apakah ia menyesali keputusannya untuk tinggal di kota ini? entahlah. yang ia tahu, saat ia telah pergi jauh dari Korea Selatan dan memulai hari barunya di sini, setiap harinya selalu dibayangi rasa kehilangan. entah  akan apa.

Jiyeon tersentak mendengar seseorang memanggil namanya. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan tersenyum kecil melihat oppanya yang kini telah berdiri di pintu masuk cafe yang tengah dikunjunginya ini. Ia melambaikan tangan ke arah oppanya yang menatapnya datar tanpa ekspresi.

oOoOoOoOoOoOoOoOo

“Jadi... kamu ingin kembali ke Korea Jiyeon-ah? apakah tidak terlalu sayang? bukankah dua tahun lagi kamu akan lulus dan melanjutkan ke jenjang kuliah? bukankah lebih baik untuk melanjutkan disini?” Interogasi eomma Jiyeon panjang lebar. Jiyeon tidak menatap ke arah eommanya. kedua bola matanya terarah keluar jendela butik eommanya yang berada di pusat kota itu.  

Anio. ia tidak sedang benar-benar melihat sesuatu di luar jendela kaca butik mewah itu. otaknya tengah bekerja keras mencari alasan untuk bisa kembali ke Korea.  sebuah ide gila berkelebat di otaknya, membuat sebuah senyum samar tersungging di wajahnya.

“Appa. naneun...... aku ingin bertemu appa. appa bogoshippo.. boleh ya eomma? aku ingin kembali ke Korea.. bukankah telah lima tahun kita tidak bertemu appa..? tolonglah....?” ya. ini gila. orang sebodoh apa yang bisa merindukan seorang ayah yang lebih mencintai perusahaan daripada anak kandungnya sendiri? tidak ada alasan yang bisa membuat Jiyeon sampai merindukan appanya.

Pastiny ia berbohong kali ini. Jiyeon tahu ini keterlaluan, tetapi mungkin hanya cara ini yang bisa dipakainya. yah.. satu-satunya cara agar ia bisa pulang ke Seoul secepatnya. bukankah seorang ibu akan mudah tersentuh mendengar hal seperti ini? kekeke.

Dan sepertinya berhasil. eommanya terdiam lama, kemudian mendesah. mata eommanya menatap lurus ke arah Jiyeon. orang yang tengah ditatapinya itu kini tengah harap-harap cemas menanti jawaban yang akan diberikannya. tak lama kemudian, eomma Jiyeon tersenyum tipis.

“Baiklah kalau begitu... kamu boleh kembali ke Korea. tapi eomma tidak bisa ikut bersamamu. kita baru saja membuka cabang butik di Paris dan Roma dan eomma mustahil untuk dapat kembali sebelum mengurus beberapa hal disini. eomma akan menyuruh Hyunseong untuk menemanimu. tapi kamu harus berjanji, jangan berbuat nakal dan jangan pernah membolos lagi disana janji?” eomma Jiyeon menyodorkan kelingking tangan kanannya kearah Jiyeon. Jiyeon tersenyum lebar dan menautkan kelingkingnya pada kelingking sang eomma.

“Ne. aku akan menjadi anak baik. Jongmal imnika!” janji Jiyeon sungguh-sungguh. eomma Jiyeon tertawa kecil, kemudian mengacak-acak rambut putrinya lembut. Sebuah keputusan yang dibuat eommanya untuk mengizinkan Jiyeon kembali, saat itu juga mengubah hari-hari yang dilalui Jiyeon untuk selanjutnya.

oOoOoOoOoOoOoOoOo

Jiyeon keluar dari butik yang bernuansa elegan itu sambil bersiul-siul senang. ia berlari-lari kecil ke arah oppanya yang tengah bersandar di dashboard mobil menantinya. Hyunseong mengerutkan kening melihat wajah Jiyeon yang seakan baru mendapatkan sesuatu yang luar biasa itu.

“Ada apa dengan senyum lebar itu? apakah eomma tidak menjewer telingamu atau semacam itu tadi? kenapa wajahmu secerah itu?” ujar Hyunseong kemudian menarik handle pintu mobilnya dan duduk di bangku kemudi. Jiyeon ikut masuk ke mobil oppanya dan duduk di kursi sebelah kursi kemudi. ia memasang sabuk pengaman dan melirik oppanya dengan girang.

“Anio. tadi sangat hebat! hanya butuh waktu lima belas menit, dan tahukah oppa? kita akan kembali ke Seoul secepatnya. waa cwegodaaa..~” Jiyeon berseru histeris. matanya berbinar menatapi tiap gedung yang dilewatinya, seakan tidak akan pernah bisa melihatnya lagi. senyum diwajahnya bertambah lebar saat dari sudut mata, ia menangkap wajah tersentak kakaknya.

“Nde? Mworago? kembali ke Korea katamu? aku baru saja bersusah payah lulus seleksi mahasiswa Hamburg, dan semudah itu eomma menyuruhku kembali ke Korea?? Shiroyo!!” sahut Hyunseong sebal.

“Hamburg? sesulit itukah masuk ke universitas tua itu? ahh... lupakan Hamburg oppa. ia hanya kelihatan hebat dari luar. bukankah duluuuu sekali, oppa pernah berharap untuk menjadi mahasiswa di  Kyunghee University?? nah, kalau kita kembali ke Korea, bukankah oppa akan bisa mewujudkan impian oppa ituuu??? ayolah oppa...~” rayu Jiyeon sambil mengedip-kedipkan kedua matanya dengan sok imut. Hyunseong menatap aneh ke arah Jiyeon.

“Berhenti mencoba membuatku geli adik nakal. seharian ini kau terus-terusan membuatku pusing. jadi, jangan tambah membuatku gila. duduk dan diamlah, ok? biarkan oppamu ini menenangkan diri. hahhh...”Hyunseong mendesah berat untuk kemudian menambah kecepatan audi-a3nya. Jiyeon tersenyum tipis melihat wajah putus-asa-tanpa-harapan-hidup yang terpampang di wajah oppanya. ia mengalihkan pandangan kembali keluar kaca mobil putih itu.

oOoOoOoOoOoOoOoOo

“Ng...ini bawa, ini... tinggal saja. bawa, bawa, wah... ini terlalu rugi untuk ditinggalkan. kalau yang ini.. tinggal... ah! oppa...!! kau mau ini? kalau ya, aku akan memberikannya padamu...!” Jiyeon berseru tiba-tiba ditengah kesibukannya membereskan setumpuk barang-barang yang akan dibawanya ke Seoul.
Hyunseong yang menjadi objek seruannya itu tengah duduk bersila di sofa depan TV. 

Ia melirik sekilas ke arah saengnya, dan seketika kedua matanya membulat melihat apa yang tengah diacungkan Jiyeon di tangannya sekarang. Nikon 4D! bukankah Jiyeon telah menabung mati-matian untuk membeli kamera mahal itu?

Memang, Hyunseong sempat menabung berbarengan dengannya untuk dapat membeli kamera dengan jenis yang sama. tapi Jiyeon yang lebih beruntung untuk bisa memilikinya lebih dulu. dan kenapa sekarang ia dengan santainya menawarkan kamera super mahal itu pada Hyunseong?

“Mworago? Nongdamhajima! jangan coba-coba mempermainkan oppamu lagi adik nakal. itu tidak baik. tidak puaskah kau, dari kemarin terus-terusan mengerjaiku? mian. aku tidak akan meladeni permainmu lagi kali ini.” gerutu Hyunseong seraya membuang muka. pandangannya kini terfokus kembali pada layar TV di depannya. beberapa menit, ruang tengah apartemen keluarga mereka yang luas itu hening. Hyunseong telah asyik dengan acara TV yang ditontonnya, tanpa peduli keadaan sekitar. 

Sampai-sampai ia tidak sadar kalau Jiyeon tengah berjinjit pelan ke sisinya. ‘tuk’ dengan tiba-tiba, Jiyeon menempelkan kamera hitam itu ke pipi sebelah kiri Hyunseong. Hyunseong terkesiap dan mendongak ke arah Jiyeon yang tengah berdiri di sisinya sambil mengenggam Nikon 4D di kedua belah jemari tangannya. Hyunseong menaikkan sebelah alis. ‘apa yang akan dilakukannya lagi?’ batinnya curiga.

“Ambillah oppa. aku tahu oppa sangat menginginkan ini. sebenarnya aku sama sekali tidak berminat pada dunia fotografi. kalau oppa bertanya, kenapa aku susah payah menabung untuk membeli kamera ini, yah... itu karena kau, Hyunseong oppa. awalnya sih ingin kuberikan pada hari ulang tahun oppa sebulan lalu. tapi, tak kusangka pada hari itu oppa bertingkah sangat menyebalkan padaku sehingga membuatku mengurungkan niatku. aratso, aku tahu aku keterlaluan akhir-akhir ini. jadi, sebagai permohonan maaf, terimalah kamera ini oppa...”Jiyeon menjelaskan panjang lebar dengan kata-kata yang sanggup membuat Hyunseong terpaku saat itu juga. dilihatnya tatapan tulus dari kedua mata Jiyeon yang tengah mengulurkan benda mewah itu ke arahnya.

Sejenak, Hyunseong terdiam dan meyakinkan dirinya kalau ia tidak sedang bermimpi. orang yang mengatakan kata-kata  tadi adalah saengnya dan memang sepertinya itu terlalu hebat untuk mejadi kenyataan. tapi, ia yakin ia tidak sedang bermimpi. sebuah senyum menghiasi wajah Hyunseong. sontak, ia memeluk saengnya dan mengacak-acak rambut cokelat Jiyeon girang.

“Waahh... tidak kusangka, saengku ternyata begitu baik... aku beruntung memiliki saeng sepertimu Jiyeon... eomma, gomawoyoo! aahhh... Nikon 4D!! Jiyeon, Gomapta!” Hyunseong berseru senang saat kamera hitam itu berpindah alih ke tangannya. Ia memandang tak percaya pada benda di tangannya. untuk kesekian kalinya, senyum lebar tersungging di bibirnya.

oOoOoOoOoOoOoOoOo

Jiyeon beranjak menuju tumpukan barang-barangnya kembali. ia mendengus kesal melihat tumpukan barang-barang yang berserak tak beraturan dihadapannya. ingin rasanya membuang segala benda tersebut ke jendela apartemennya. tapi sebelum menyesal, diurungkannya niat itu.

Ia mengalihkan pandangannya dari kardus-kardus penuh boneka yang akan dibawanya. tatapannya kini tertuju pada lemari buku di sudut ruangan. karena kurangnya minat Jiyeon terhadap benda bernama buku, membuatnya jarang sekali menyentuh lemari itu.

Dan kali ini, rasa penasarannya terhadap benda-benda yang tersimpan rapi dan teratur didalam lemari itu, membuatnya perlahan membuka pintu lemari buku itu dan menelusuri tiap judul yang tertera disana. Bussines and economic, The Goverment, ah... ini pasti buku-buku milik oppanya. lalu ada buku fashion dan beragam model pakaian. dan... di sudut lemari itu ada sebuah buku tebal tak berjudul. Jiyeon menarik keluar buku tersebut.

Mungkin itu lebih tepat disebut sebuah album. ya, sebuah album dengan sampul yang terlihat lapuk dimakan usia. Jiyeon yakin, album ini bukan album foto terbaru keluarga mereka. karena semua album tersebut kini berada dalam penjagaan Jiyeon. artinya, foto yang berada di album ini adalah foto-foto lama yang disimpan oleh eommanya.

Jiyeon membuka lembar pertama album tersebut dan tersentak melihat isinya. yah..... mungkin judul yang tertera di halaman depan album tersebut yang membuat kedua matanya membulat tak percaya saat itu.

“Asawa’s Room, Hwesa International School.”

Ya! itu album masa awal masuk Sekolah Dasar miliknya!! siapa yang pernah menduga, kalau album sepuluh tahun yang lalu itu masih ada dan tersimpan rapi di lemari ruang tengah apartemennya ini? di tengah keterkejutannya yang belum juga hilang, Jiyeon lekas membuka lembar kedua album tersebut.






 



Senyum lebar tersungging di bibirnya saat menemukan wajah-wajah polos menggemaskan yang amat dikenalnya. wajah teman-teman kecil yang paling dirindukannya, sejak kepergiannya lima tahun yang lalu. bahkan Jiyeon tidak sempat mengucap kata-kata perpisahan sedikitpun saat itu. sesuatu yang pada akhirnya meninggalkan penyesalan bagi Jiyeon.

Ditatapnya satu persatu wajah-wajah lucu itu. yah, walaupun ini adalah album sepuluh tahun yang lalu dan pastinya teman-temannya itu telah memiliki raut wajah yang  lebih dewasa dari yang terpampang di album itu kini. tapi senyum mereka masih senyum yang sama saat terakhir kali Jiyeon melihat senyum itu di hari kenaikan kelas.  Jiyeon bahkan masih hafal nama dan sifat semua teman sekelasnya (yang entah bagaimana tidak pernah bosan untuk terus bersama dari kelas satu sampai kelas lima -_-)





Ada Hanbyul yang ramah dan periang, Christina yang feminine dan bangga menjadi stalker setia Hanbyul, Saeron yang manis dan pendiam, Yoonsuk yang jenius dan biasa menjadi tempat kami sekelas berguru atau menyontek *keke~*, Shin Ae yang dewasa dan keibuan, Seokhyun yang sok dan jahil, Seohyun yang centil dan hobi menggoda Seokhyun, Mana yang cantik dan berbakat jadi model, Minwoo yang sangat sangat baik hati sekaligus perhatian, Sungwoo yang cuek, kalem dan otoriter, Hyungsuk yang tampan dan menawan, dan Lauren yang anggun dan benar-benar menggemaskan.

Yah... sepertinya tak ada yang terlewat dari memori Jiyeon tentang teman-teman tercintanya itu. segala kenangan yang benar-benar memaksa Jiyeon untuk dapat segera kembali dan bertemu mereka secepatnya. kini pasti mereka semua telah tumbuh menjadi namja dan yeoja yang tampan dan cantik, sama seperti Jiyeon sekarang.

Jiyeon benar-benar telah tenggelam dalam kenangan masa kecilnya. terlempar dalam memori indah bersama teman-temannya saat itu, yang sanggup menorehkan kerinduan terdalam di hati Jiyeon. Lama kedua bola matanya tak berkedip menatapi album foto di dekapan tangannya. Tak sengaja, selembar kertas terjatuh dari dalam album tersebut saat Jiyeon akan membuka lembar selanjutnya.


Hampir tak percaya, jemari Jiyeon perlahan mencoba  meraih halaman yang terjatuh di lantai ruang tengahnya itu. ia rasa, ia bahkan telah lupa cara untuk bernafas saat itu. 

Jiyeon terduduk di lantai. mendekap erat album di pelukannya, dan mengelus permukaan selembar halaman yang telah terlepas dari album itu. tepatnya mengelus potret wajah seseorang yang berada dalam selembar kertas itu.

Orang itu...... 

seseorang yang paling ingin *atau malah tidak ingin?* Jiyeon temui saat ini. 
alasan dibalik keinginan  Jiyeon untuk pergi dari negara kelahirannya. 
ya. orang itu. pangeran hujannya.







--- TBC ---




Tidak ada komentar:

Posting Komentar