Ayah dan Ibu. Orang-orang terkasih yang paling kita cintai, dan paling
tulus dalam menebarkan cintanya pada kita, anak-anaknya. Dua sosok yang paling
memiliki arti di kehidupan banyak orang. Termasuk dalam hidupku. Dan kini,
izinkan aku berbagi, sedikit isi hati yang susah untuk diutarakan lewat
kata-kata. izinkan aku sedikit bercerita.
Tentang dua sosok paling berpengaruh dalam cinta, asa, dan cita-citaku.
Tentang ayah dan ibu yang memiliki kesabaran tiada batas, terutama dalam
mengasuh dan mendidik anak perempuan sulungnya yang satu ini.
*
Ayahku orang yang tampan. Memiliki tubuh
yang sedang, tidak tinggi. Namun tidak juga masuk dalam kategori pendek. Kulitnya gelap. Memiliki wajah
yang teduh, menenangkan.
*
"Yas, ini pacar aku....... ganteng kan yaa?" ujar salah seorang temanku saat memperkenalkan pacarnya padaku.
Ya, harus ku akui. Lelaki itu memang tampan. Tinggi. Berkulit putih. Memiliki lesung pipi. Giginya rapi. Gaya rambutnya keren.
Tapi, bagiku lelaki yang selalu membangunkanku untuk shalat shubuh, yang selalu menelponku saat aku pulang terlambat, yang selalu menggodaku sampai aku tersipu malu, yang selalu menggeleng-gelengkan kepala saat aku bertingkah bodohlah lelaki tertampan bagiku. Dialah ayahku.
*
Ayahku orang yang setia. Pada Tuhan. Pada ibuku. Pada sahabat-sahabatnya. Pada partai politik yang ia percayai. Dan padaku, anak perempuan sulungnya.
*
Ayah orang yang keras kepala. Aku sama seperti ayah. Maka dari itu, aku sering bertengkar dengannya. Tapi, sekeras apa pun dia, pada akhirnya dialah yang akan mengalah untukku.
*
"Ayah cuma mau kakak jangan terpengaruh sama pergaulan nggak jelas!"
"Kan kakak bisa jaga diri, ayah nggak perlu maksa maksa kakak !"
"Kadang untuk menjadi lebih baik, butuh paksaan!"
"Tapi kakak nggak mau lebih baik, lebih bagus kayak gini aja!"
Ayah diam . kelihatan seperti tengah berusaha menahan diri untuk tidak sampai membentakku.
"Yaudah, ayah terserah kakak deh. Ayah yakin kakak udah bisa jaga diri, kakak bukan gadis kecil belia yang musti diatur dari A sampai Z lagi. Kakak yang tau apa yang paling baik buat kakak." Tuturnya sambil tersenyum.
*
Ayah seperti tukang kredit panci, cerewet. Kadang, aku sering menulikan telingaku sendiri. Dan cerewet memang sudah menjadi bakatnya. Dia akan terus bicara. Dan berhenti hanya pada saat terlelap dalam nafas teratur.
*
Hati ayah lapang. Dan dia selalu melapangkanku.
*
"Ayah, kakak jelek ya?"
"Kakak cantik!"
"Ayah, kakak gendut ya? Kakak mau diet aja"
"Apaan diet diet, kayak gitu aja tetap cantik kok”
"Ayah, kakak nyebelin ya?"
"Kamu menyenangkan!"
"Kenapa?"
"Karena kakak anaknya ayah!"
*
Ibuku, seorang wanita dengan paras yang cantik. Dari wajahnya selalu terlihat sunggingan senyum yang merekah. Banyak orang yang bilang, kalau aku mirip dengan ibuku.
*
"Yas, ini pacar aku....... ganteng kan yaa?" ujar salah seorang temanku saat memperkenalkan pacarnya padaku.
Ya, harus ku akui. Lelaki itu memang tampan. Tinggi. Berkulit putih. Memiliki lesung pipi. Giginya rapi. Gaya rambutnya keren.
Tapi, bagiku lelaki yang selalu membangunkanku untuk shalat shubuh, yang selalu menelponku saat aku pulang terlambat, yang selalu menggodaku sampai aku tersipu malu, yang selalu menggeleng-gelengkan kepala saat aku bertingkah bodohlah lelaki tertampan bagiku. Dialah ayahku.
*
Ayahku orang yang setia. Pada Tuhan. Pada ibuku. Pada sahabat-sahabatnya. Pada partai politik yang ia percayai. Dan padaku, anak perempuan sulungnya.
*
Ayah orang yang keras kepala. Aku sama seperti ayah. Maka dari itu, aku sering bertengkar dengannya. Tapi, sekeras apa pun dia, pada akhirnya dialah yang akan mengalah untukku.
*
"Ayah cuma mau kakak jangan terpengaruh sama pergaulan nggak jelas!"
"Kan kakak bisa jaga diri, ayah nggak perlu maksa maksa kakak !"
"Kadang untuk menjadi lebih baik, butuh paksaan!"
"Tapi kakak nggak mau lebih baik, lebih bagus kayak gini aja!"
Ayah diam . kelihatan seperti tengah berusaha menahan diri untuk tidak sampai membentakku.
"Yaudah, ayah terserah kakak deh. Ayah yakin kakak udah bisa jaga diri, kakak bukan gadis kecil belia yang musti diatur dari A sampai Z lagi. Kakak yang tau apa yang paling baik buat kakak." Tuturnya sambil tersenyum.
*
Ayah seperti tukang kredit panci, cerewet. Kadang, aku sering menulikan telingaku sendiri. Dan cerewet memang sudah menjadi bakatnya. Dia akan terus bicara. Dan berhenti hanya pada saat terlelap dalam nafas teratur.
*
Hati ayah lapang. Dan dia selalu melapangkanku.
*
"Ayah, kakak jelek ya?"
"Kakak cantik!"
"Ayah, kakak gendut ya? Kakak mau diet aja"
"Apaan diet diet, kayak gitu aja tetap cantik kok”
"Ayah, kakak nyebelin ya?"
"Kamu menyenangkan!"
"Kenapa?"
"Karena kakak anaknya ayah!"
*
Ibuku, seorang wanita dengan paras yang cantik. Dari wajahnya selalu terlihat sunggingan senyum yang merekah. Banyak orang yang bilang, kalau aku mirip dengan ibuku.
*
“Yas..... ini foto siapa?” tanya salah seorang temanku saat matanya menangkap potret foto-foto keluarga yang terpajang di ruang tamu rumahku.
“Itu ibunya Yasmin, Dara....” jelasku pendek.
“Mata sama hidungnya mirip sama kamu Yaas” celutuk Rina.
“Ya iyalaaah, kan aku anaknyaa” sahutku gemas.
“Sekarang, aku nggak bakal khawatir lagi kalo kamu anak angkat” tukas Dara seraya memasang wajah pura-pura terharu. Aku tergelak dan segera menimpuk wajahnya dengan bantal.
*
Ibuku adalah satu-satunya orang yang bisa dengan leluasa untuk kuutarakan segala masalahku. Mulai dari
hal-hal sepele seperti masalah nilai ulangan, sampai ke urusan yang lebih ruwet seperti masalah hati.
Dan ibuku, dengan ajaibnya selalu bisa bersabar mendengar segala curhatku yang kadang tak memiliki rasa kemanusiaan.
*
“Bu..... tahu nggak? Ada abang kelas yang suka sama kakak loh...”
Ibuku tersenyum
dan menatapku dengan tatapan tertarik.
“ya, lalu?”
“Dia........ nembak kakak. Tapi, kakak nggak nerima. Soalnya kakak ngerasa nggak butuh buat pacaran, masih banyak hal lain yang lebih penting buat kakak kerjain... selain itu, kakak masih pengen fokus belajar dulu, kan bentar lagi mau kelas dua belas” jelasku dengan ekspresif.
“Nah, ibu setuju sama prinsip kakak, sebaiknya gausah pacaran deh, lebih banyak yang buruknya daripada manfaatnya”
“Tapi bu.........” selaku ragu-ragu.
“Kenapa lagi?” tanya ibuku dengan senyum tertahan.
“Kalo nanti.... kakak nggak dapet jodoh gimana?” tuturku dengan khawatir. Ibuku tergelak. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya ia berujar.
“urusan jodoh itu udah ada yang ngatur, tinggal kakaknya yang disuruh untuk terus memperbaiki diri. Kalo kakak mau memperbaiki diri dan berusaha buat jadi lebih sholehah, pinter, rajin, insya allah ntar jodohnya dateng sendiri kok. Yang tampan, baik, pinter... kakak nggak usah khawatir” jelas ibuku panjang seraya ditutup dengan mengacak acak puncak kepalaku.
*
Kini, aku memang masih
gadis kecil-nya ayah dan ibu.
Aku masih membutuhkan seluruh nasihat mereka, walau aku mungkin sering tak mendengarkannya.
Aku masih membutuhkan seluruh nasihat mereka, walau aku mungkin sering tak mendengarkannya.
Aku masih membutuhkan setiap ocehan bernada kekhawatiran kala diriku terbaring tak berdaya disergap oleh penyakit.
Aku masih membutuhkan segala larangan dan omelan panjang lebar mereka saat aku melakukan kesalahan.
Aku masih membutuhkan segalanya tentang ayah dan ibuku.
Dan kata masih itu akan berganti menjadi kata tetap. Ya, sampai kapan pun, aku akan tetap membutuhkan mereka. Karena aku akan tetap jadi Gadis kecil-nya ayah dan ibu.
*
Segala wujud cintaku pada ayah dan ibu, takkan ada yang bisa menggambarkannya. Tapi yakinlah ayah, ibu, cintaku lapang, selapang hati kalian.