Senin, 28 April 2014

Wanita itu Bernama Cut Nyak Dien



Sedikit tulisan yang berbuah dari pengalaman kunjungan ke rumah cut nyak dien beberapa waktu silam.... Baiklah inilah tulisan singkat saya :)

***

Perempuan Aceh pantang meneteskan air mata untuk orang yang syahid di medan perang, bangkitlah! Perjuangan kita masih panjang.”


Kalimat pendek namun sarat makna itu terlontar dari mulut seorang wanita pada anak semata wayangnya, beberapa saat kala menerima kabar tentang kematian suaminya di medan perang. Dikemasnya segala isak tangis dan kesedihan dengan sangat apik, dan ditimbunnya di salah satu sudut hati terdalam.


Walaupun tak dapat dipungkiri, dirinya tentulah merasakan kehilangan yang teramat sangat. Tapi ia sadar akan tanggung jawab sebagai seorang istri. Setiap saat ia harus siap untuk menerima tampuk kepemimpinan sebagai kepala keluarga ,sekaligus pemimpin pergerakan untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda.


Tahukah engkau? betapa kami merindukan sosokmu, Cut Nyak Dhien...

***

Dan kini, 

118 tahun kemudian. Aku berkesempatan untuk mengunjungi rumahmu. Rumah perempuan perkasa yang sering membuatku kagum saat membaca ringkasan sejarah hidupnya. Rumah panggung sederhana yang berdiri tegak di depan mataku. Rumah yang bertempat di daerah Lampisang.


" Rumah panggung yang sekarang lagi adek lihat ini dibangunnya tahun 1981, yang aslinya sih udah dibakar sama Belanda, tahun 1896. tapi lokasinya sih masih sama"  


Informasi singkat yang kudapatkan dari kakak sepupuku tidak berhasil mengalihkan perhatianku. Keterpesonaanku telah berhasil kau rebut sejak aku pertama kali menjejakkan kaki di anak tangga pertama rumah panggung sederhanamu. 


Kuresapi getaran semangat perjuangan yang tersimpan di tempat ini. Menyusuri jejak dan sepak terjang sang pemilik rumah yang berbicara lewat gambar-gambar dan saksi bisu perjuangan yang menggantung di dinding rumah. Segala kejadian yang sukses berbicara walaupun tanpa kata-kata. Membuat hati kecilku bergetar, seolah bisa terjun langsung dan merasakan apa yang kau rasakan saat itu.


Satu hal yang juga berhasil membuat hatiku kembali bergetar. Saat menyadari bahwa aku dan engkau adalah perempuan yang terlahir di tanah yang sama. walaupun pada zaman yang berbeda.


Ya...


Masih di atas tanah yang sama. Di atas tanah tempat kau dulu pernah berpijak.  Menggelorakan segala asamu, mengobarkan semangat para pejuang untuk bersatu padu menjaga tanah rencong ini agar aman dari genggaman  para penjajah.



Masih di bawah langit yang sama. Di bawah langit tempat kau dulu pernah mengadu, bersujud dan berdoa syahdu, pada Zat yang Maha mendengarkan segala rintihan hati. Di bawah langit tempat kau menyaksikan segala suka duka, sejarah yang pernah dilewati bumi Aceh ini, 118 tahun yang lalu.


Aku tertatih mencoba menuliskan untaian tulisan, yang bisa menggambarkan bagaimana aku, dia dan kami semua merindukan sosokmu. Sosok yang  keras dan kuat layaknya baja, namun terkadang bijak serta penuh rasa keibuan. Sosok khas perempuan Aceh. 


Ingatanku melayang pada dialog yang kubaca di salah satu kisah sejarah perjuangan tentangnya. obrolan malamnya kala menyemangati Teuku Umar, sang suami untuk tak goyah ..


"Teuku, berjuang melawan kape-kape penjajah merupakan bagian dari keimanan, … setelah Lampadang gampong kelahiranku mereka bakar, akhirnya Lampisang mereka bakar juga … ke Lampisang tak mungkin ku kembali …"


***


Izinkan kami mewarisi segala semangat perjuanganmu. Biarkan kami mewarisi rasa cintamu pada bumi Aceh ini. Dan mungkin ini adala salah satu warisan budaya terindah, yang bisa kami punya.












1 komentar:

  1. sebuah memoar sejarah yang penuh haru dari almarhumah Cut Nyak Dhien, semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita generasi penerus untuk terus belajar dan beramal bagi agama, nusa dan bangsa :-)

    BalasHapus